Minggu, 03 April 2011

BRAILLE PENENTU KEMAJUAN TUNANETRA


BRAILLE PENENTU KEMAJUAN TUNANETRA
Sebuah essai untuk Gema Braille pada ulang tahun
Balai Penerbit Braille Indonesia (BPBI) “Abiyoso” ke 50

            Louis Braille yang terlahir pada tanggal 4 Januari 1809 di Coupvray, Prancis itu sangat berjasa bagi kemajuan tunanetra sedunia sepanjang masa. Temuannya terlihat sangat sederhana. Hanya enam titik timbul yang posisinya tiga vertical dan dua horizontal saja sangat menentukan kemajuan tunanetra umumnya.
            Kenapa Huruf Braille itu sangat membantu memajukan tunanetra ? karena dengan huruf Braille tersebut tunanetra dapat menulis dan membaca. Sebagaimana kita ketahui dan sadari bahwa keterampilan menulis dan membaca itu sangat menentukan kemajuan seseorang manusia di dunia kini.
            Betapa tidak, gagasan, buah pikiran, curahan perasaan, kata hati, informasi, pengetahuan, dan sebagainya itu bisa tersebar secara efektif melalui tulisan. Apa saja yang tersebar melalui tulisan itu hanya dapat ditangkap, diserap, dan dipahami secara efektif pula oleh orang yang bisa membaca tulisan tersebut. Dengan demikian, kemampuan menulis dan membaca itu merupakan kebutuhan dasar yang sangat mendasar bagi seseorang manusia yang dapat memanusiakan dirinya.
            Sedangkan manusia normal yang berpenglihatan itu saja sangat membutuhkan kemampuan menulis dan membaca Latin, apalagi tunanetra yang tanpa penglihatan itu ? Tentu mereka semakin bertambah kelam tanpa menulis dan membaca. Tentu saja para tunanetra secara otomatis tidak bisa menulis dan membaca dikarenakan kemampuan menulis dan membaca Latin itu sangat ditentukan adanya penglihatan.
            Akan tetapi, tidak demikian lagi halnya setelah Louis Braille berhasil menemukan Huruf Timbul Braille yang meskipun sangat sederhana itu.
            Sejak huruf Braille ditemukan, para ahli yang peduli memfasilitasi kemauan tunanetra semakin mampu mengembangkannya sehingga para tunanetra menjadi semakin bisa mengembangkan kemajuan dirinya sendiri sehingga bisa setara dengan kaum normal lainnya. Bahkan, ada yang bisa melebihi kemampuan manusia normal pada umumnya.
            Sebut saja yang menonjol seperti : Dr. Toha Husein tamatan Universitas Sorbon, Prancis pernah ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan di Mesir, Dr. Hellen Keler yang buta, tuli, dan bisu itu bisa meraih dua gelar doctor sempat ditunjuk menjadi penasehat Presiden Amerika Serikat, Datuk Dr. Ismail Bin Muhammad Saleh yang terlahir di Pasir Mas, Kelantan, merupakan tunanetra pertama di dunia peraih gelar doctor di bidang ilmu ekonomi dari universitas Negeri New York, Amerika Serikat; tercatat di Guiness Book of World Records, dia adalah penyandang cacat pertama tertunjuk sebagai senator di Parlemen Malaysia serta menjadi penasehat ekonomi Malaysia. Dr. H. Ahmad Basri, NS, M.Pd, tunanetra pertama di Indonesia bahkan di dunia yang meraih gelar doctor di bidang pendidikan Pengajaran Bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi orang-orang yang unggul meski dalam keadaan tunanetra.
            Sudah tentu keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh media keterampilan mereka mendasar yang diakui secara akademik adalah menguasai tulisan baca Braille.
            Pengalaman saya bersama Gema Braille sangat mengesankan. Betapa tidak, di era pengetahuan yang sangat luas dan cepat berkembang ini, sedemikian banyaknya Koran dan majalah yang diterbitkan dengan huruf cetak Latin, yang kesemuanya itu saya tidak bisa mengakses dan menikmatinya, hanya Gema Braille yang terbit setiap triwulan dengan ketebalan yang jauh melebihi majalah lainnya, namun isinya tentu terpaksa paling sedikit dibandingkan dengan majalan lain. Saya maklumi, karena untuk menerbitkan sebuah majalah Braille jika harus menyalin semua isi sebuah majalah Latin merupakan sbuah kerja yang sangat besar, butuh dana, dan waktu yang lama. Sungguhpun demikian, kita harus mengapresiasi pihak penerbit yang dalam hal ini BPBI Abiyoso Kementrian Sosial RI yang telah dengan susah payah untuk terus menerbitkan Gema Braille dalam rangka turut mencerdaskan bangsa khususnya bagi tunanetra.
            Jumlah artikel Gema Braille memang sangat terbatas. Namun, isinya cukup komprehensif dan informatif. Menyeleksi informasi pengetahuan yang dinilai bermanfaat bagi tunanetra dari sekian banyak informasi pengetahuan yang sangat cepat berkembangnya itu harus diakui bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan ini memerlukan kejelian dan keahlian khusus pula tersendiri. Sepatutnyalah kita menghargai pekerjaan yang tak mudah ini.
            Menurut saya, untuk edisi anak, memang sebaiknya tulisan penuh. Namun, untuk edisi dewasa, sudah waktunya menggunakan tulisan Braille yang sudah dibakukan agar jumlah lembarannya bisa sama namun muatan pengetahuannya lebih banyak lagi. Keuntungan lain tunanetra dewasa akan terpaksa menguasai tusing Braillah Bahasa Indonesia sehingga dampak positif yang diharapkan wawasan pengetahuan tunanetra dewasa dapat semakin luas. Akan lebih baik kalau bisa digunakan kertas yang lebih tipis dengan tonjolan Braille yang memadai.
            Suatu kali saya pernah mendapat undangan mendadak untuk memberikan ceramah agama Islam. Saya tidak punya bahan yang seharusnya dipersiapkan beberapa saat sebelumnya. Untunglah saya baru saja menerima dan membaca Gema Braille. Kebetulan rubric agama Islam yang disuguhkan dalam Gema Braille tersebut temanya patut disampaikan dalam ceramah tersebut. Dengan demikian pengalaman saya bersama Gema Braille tersebut sangat membantu memecahkan permasalahan kesempatan berinteraksi sosial di masyarakat.
            Tentu setiap pembaca pelanggan Gema Braille yang setia akan mempunyai pengalaman yang berbeda manfaatnya. Yang pasti bagaimana pun dan sekecil apapun informasi pengetahuan yang dipersembahkan oleh redaksi Gema Braille ini kepada pelanggan tunanetra pembacanya pasti sangat bermanfaat. Betapapun banyaknya bacaan yang beredar dalam huruf Latin, ketergantungan tunanetra pada orang lain sangat tinggi. Beruntung memang bagi tunanetra yang mudah mendapat relawan yang berkenan membacakan setiap saat diperlukan atau yang sudah mampu berselancar di dunia maya yang menggunakan program bisa bicara seperti Jaws. Akan tetapi kiranya tetap masih banyak tunanetra yang tidak seberuntung seperti apa yang dikemukakan di atas. Tunanetra yang sedemikian itu tentu sangat membutuhkan kehadiran gema Braille yang sangat menginspirasi dan memotivasi. Bagaimanapun juga Gema Braille di Indonesia adalah media satu-satunya yang merespon manfaat penggunaan Braille.
            Kita harus akui bahwa system baca tulis Braille ini telah mampu membuat para tunanetra melakukan suatu perubahan yang drastis terhadap pengalaman hidup mereka, seperti dari semata-mata mengharapkan amal belas kasihan menjadi tunanetra yang mampu mandiri secara ekonomi, dari bagian masyarakat yang termarjinalkan menjadi bagian masyarakat yang diperhitungkan terhormat di segala bidang kehidupan.
            Pada kesimpulannya system Braille ini bisa menjadi pelita penerang mata hati tunanetra yang secara fisik memang tetap dalam gelap gulita.
            Oleh karena itu, kunci keberhasilan tunanetra itu terletak pada penguasaan baca tulis Braille, maka peran Gema Braille menjadi sangat strategis dalam menerampilkan dan mencerdaskan anak bangsa kita yang tunanetra di Indonesia.
            Mari kita dorong berkembangnya Gema Braille menuju puncak kegunaannya yang hakiki bagi kemajuan tunanetra di tanah air dengan membacanya secara antusias dan menelaahnya secara cermat serta menyampaikan saran masukan dan tulisan yang bermakna menginspirasi dan memotivasi tunanetra untuk maju berperan aktif di bidang minat dan bakat kemampuannya masing-masing demi mengharumkan nama bangsa.
            Dirgahayu Gema Braille dan teruslah bergema menyongsong ulang tahun BPBI Abiyoso yang ke 50 tahun berkiprah di bumi pertiwi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar