Minggu, 15 Mei 2011

Riwayat singkat


Riwayat singkat perjalanan perjuangan doctor tuna-netra pertama di Indonesia sekedar menuju jabatan kepala sekolah tunanetra pertama di SLBN A kota cimahi dan kota bandung


Sesungguhnya beliau terlahir normal. Kedua orangtuannya asli berasal dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Ibunya bernama Hj. Nur Hama(almarhumah), ayahnya bernama Baginda Ahmad(almarhum). Beliau terlahir masih dalam era zaman revolusi di Kabanjahe, Kabupaten Yanah Karo, Sumatra Utara, tertanggal 6 April 1948. Ayahnya memberi nama beliau Ahmad Basri. Setelah bersekolah, beliau tambahkan bagian nama ibunya Nur plus suku ibunya Sikumbang, karena menurut adat di minang Pariaman, sukunya atau marganya mengiuti sang ibu(matrialchart). Dengan demikian, nama lengkap beliau adalah Ahmad Basri Nur Sikumbang.
Nasib malang menimpa basri kecil. Agresi militer belanda kedua meletus. Keluarga besar Baginda Ahmad terpaksa turut mengungsi dari Kabanjahe menuju Padang Pariaman yang konon kabarnya dengan berjalan kaki. Didalam pengungsian itu Basri kecil menderita sakit panas yang diikuti dengan penyakit campak(cacar). Ketika itu sempat dirawat di rumah sakit Padang Pariaman. Sakit cacarnya dapat disembuhkan. Namun kedua matanya terpalut lemak yang mengakibatkan kebutaan. Kemudian dikarenakan satu dan lain hal, kedua orang tuanya terpaksa berpisah(bercerai).
Selanjutnya Basri kecil yang sudah berusia sekitar 2—3 tahun dalam keadaan tunanetra tersebut diurus oleh ibunya dan sanak family dari pihak ibunya di Medan Sumatra Utara. Dalam hal ini yang paling perhatian adalah nenek kandung dari ibunya. Beliau sangat bersungguh-sungguh memperjuangkan kesembuahan Basri baik melalui medis maupun berbagai alternative dimana saja ada berita yang berpengharapan. Beliau selalu optimis terhadap masa depan Basri, terlebih lagi apabila berhasil disembuhkan matanya. Bahkan pada tengah-tengah kening Basri terdapat sebuah tahi lalat besar yang diyakini beliau sebagai pertanda bahwa Barsi akan naik haji suatu saat nanti. Hal itu sering beliau katakan ketika ada yang mengasihani dan mengkhawatirkan masa depan Basri. Semua prakiraan keyakinan beliau itu alhamdulilah  telah terbukti satu demi satu. Rupanya keyakinan beliau itu merupakan doa yang dikabulkan oleh Allah Subhana Wataala. Saya ucapakan syukur alhamdulilah serta terimakasih atas doa neneknda dan semoga menjadi amal sholeh neneknda yang telah terlebih dahulu menjadi almarhumah di alam baka.

Di sekitar tahun 1960-an basri remaja diketemukan oleh salah sseorang abang se ayahnya sedang bermain di pinggir jalan depan rumah kakek adik neneknya di medan. Abangnya tersebut bernama Ahmad Safi’i. Ketika itu dia sedang bersekolah di Sma Prayatna Medan. Seketika itu juga dia minta ijin kepada kakek Basri tadi untuk membawa adiknya itu ke rumah kosnya. Pada saat itulah basri dibujuk untuk mau dibawa kembali ke Kabanjahe untuk bertemu dengan papa kandung dan kakak adiknya di sana.
Ketika basri jejaka yang belum pernah bersekolah itu berhasil dipertemukan dengan papa kandungnya di Kabanjahe, basri dibujuk untuk mau tinggal bersamanya dengan janji akan dibawa ke Yogyakarta untuk berobat dan kalau ternyata tidak juga ssembuh akan dibawa ke Bandung untuk bersekolah khusus bagi orang buta. Basri menerima tawaran itu dan untungnya disetujui pula oleh ibunya.
Akhir desember 1962, Basri remaja yang sudah menjelang dewasa tersebut berangkat ke Jawa diantar papanya yang disertai Ibu tirinya yang tua bernama Amak Anyar Toboh dan cucunya alias kemenakan Basri bernama Kasman Singodimejo. Setelah berlabuh di Tanjung Priok melalui Jakarta, kota yang dituju papanya pertama kali adalah Bandung. Oleh karena disana sudah ada kakak basri se ayah kedua bernama Rostina ikut suaminya yang sedang tugas belajar di IKIP Bandung bernama B.M. Juri. Mereka adalah ayah ibu kemenakan Basri tersebut.
Awal januari 1963, Basri dibawa papanya ke Yogyakarta. Yang ditujunya kesana adalah dua orang abangnya se ayah yaitu Ahmad Nor yang sedang berkuliah di fakultas ekonomi dan Ahmad Safi’I yang sedang berkuliah di Fakultas Teknik Gajah Mada. Tujuan utama papanya adalah menyembuhkan basri atas anjuran sementara orang di Yogyakarta karena kemampuan dr. Yap spesialis mata yang sudah terkenal disana. Dua minggu basri dirawat disana. Upaya operasi sudah dilakukan dr. Yap. Namun lagi-lagi hasilnya nihil. Kembali basri dan keluarga mengkhawatirkan masa depannya.
Papanya menghibur basri. “Kamu tidak usah khawatir akan masa depanmu”  kata papanya memulai“. Sebaiknya Basri kembali ke Kabanjahe” bujuknya. “papa yakin kakak-kakak dan adik-adikmu akan berhasil tamat sekolah dan akan menjaminmu nanti” memberi harapan.
Dengan memelas mohon janji papanya untuk memasukkan basri sekolah ke rumah buta bandung. Alhamdulilah papanya mengabulkannya dan turut serta dalam pengurusan tersebut abngnya Ahmad Nor. Dengan kekuatan lobi papanya dan abangnya tadi kepada pihak Kanwil Departemen Sosial Jawa Barat di Bandung, Basri diterima di Rumah Buta Bandung.
Pada tanggal 20 Februari 1963 Basri diantar keluarganya ke Rumah Buta tersebut. Ketika itu Basri hanya bisa diterima pada latihan kerja kerajinan tangan untuk tunanetra dewasa. Sekali lagi papa Basri tidak sampai hati meninggalkannya dan mencoba untuk membujuknya kembali sebaiknya pulang saja ke Kabanjahe. Ketika itu Basri berketetapan hati agar papanya membiarkannya tetap tinggal di rumah buta dengan alasan yang terpikir dalam hatinya berdasakan pengalamannya selama ini: “Saya lebih baik mandiri dalam kekurangan daripada berkecukupan dalam ketergantungan dengan mengorbankan perasaaan”. Prinsip inilah kiranya yang membuat Basri tegar dan terus berjuang memajukan dirinya.
Meskipun Basri ditetapkan sebagai siswa latihan kerja tunanetra dewasa, dia ditempatkan di kamar tempo, yang muatannya 20 orang, semuanya siswa formal SD SLBN/A kecuali Basri sendiri. Kegiatan yang seharusnya diikuti Basri ketika itu adalah mengikuti latihan kerja  membuat keset di pagi hari, mengkuti pemberantasan buta huruf braile di sore hari, dan mengikuti persamaan SR untuk tunanetra dewasa di malam hari. Pada kegiatan latihan kerja di pagi hari basri sering mangkir, ia lebih suka berlatih membaca dan menulis braile di kamarnya dengan fasilitas buku braile yang ada.
Seminggu kemudian datang seorang tuna netra dewas baru dari Surabaya bernama Abdul Kadir. Dia jauh lebih dewasa dari Basri. Penglihatannya pun jauh lebih baik dari Basri. Meskipun dia juga belum pernah mengikuti pendidikan di sekolah, dia masih bisa belajar sendiri di rumah atas bimbingan kakaknya. Ketika itu pengatahuannya sudah melampaui anak SD bahkan sudah menguasai sebagian pengetahuan SMP seperti bahasa inggris, ilmu ukur dan aljabar, sementara Basri belum pernah sama sekali mengenal prinsip-prinsip membaca dan tulis menulis sekalipun. Apalagi soal ilmu hitung menghitung. Untuk ini semua Basri banyak belajar dari Kadir.
Status kami sama. Sama-sama murid latihan kerja. Sama-sama murid PBHB pada sore hari dan sama-sama murid persamaan SR pada malam hari. Status kami ini berlanngsung hingga Mei 1963. Pasalnya pada bulan Mei tersebut kami maju kepada kepala SLBN/A untuk dapat diterima duduk di kelas 6 SD. Kadir diterima langsung duduk di kelas 6 SD. Oleh karena kemampuannya diketahui memang diakui. Sementara Basri baru diperkenankan duduk di kelas 6 setelah melalui proses diikutsertakan mengikuti ulangan umum kelas 5 yang akan menentukan naik kelas g.
Ketika itu siswa tunanjianetra di SLBN/A bandung baru dapat mengikuti ujian akhir SD setelah melalui kelas 7. Itu berarti SD tunanetra harus ditempuh dalam tempo 7 tahun. Sementara kami(Basri dan Kadir) baru dapat menyelesaikan SD dua tahun lagi(1965).
Pada tahun 1963 tertebut ada teman kami bernama Subarjo dari kelas 6 atas permintaannya diizinkan untuk mengikuti ujian akhir di kelas 7 SD dengan angka kelulusan termasuk terbaik atas dasar keberhasilan teman kami tersebut. Kepala sekolah kami mengizinkan dan mengintruksikan kepada guru-guru kelas 6 ketika itu untuk diseleksi ulang. Bagi yang dipandang pantas akan dilebur di kelas 7 SD. Sedangkan bagi yang dan  kurang memadai akan diturunkan ke kelas 5. Hasilnya dua orang(Max Sepang dan Nobi-ah) kembali ke kelas 5. Sementara kami sisanya termasuk kami(Basri dan Kadir) melebur ke kelas 7.
Kepada kami yang terseleksi melebur ke dalam kelas ujian akhir SD tahun ajaran 1963-1964, Kepala SLBN/A Drs. Ustafa Matsam berseru, “Kalau kalian semuanya lulus seratus persen, maka seterusnya SD untuk tuna netra cukup 6 tahun saja“. Dengann ditantang seperti itu kami berupaya belajar keras. Para guru kami terutama wali kelas kami ketika itu Ibu Atika sering dengan rela mengorbankan waktunya diluar jam sekolah member ekstra pelajaran, terutama berkenaan dengan ilmu berhitung. Sebab pada umumnya kami siswa tunanetra selalu ketinggalan pelajaran di dalam ilmu berhitung. Disamping itu kami beruntung punya teman baru Kadir yang meskipun dia belum pernah mengenyam bangku sekolah, kemampuannya secara otodidak belajar dengan kakaknya di rumah, mampu mengungguli kami semua meskipun dengan kelas 7 sekalipun. Bahkan Kadir mampu mengajar kami dengan baik.
Hasilnya sangat menggembirakan. Secara langsung Kepala Sekolah mengumumkan hasil ujian kami pada bulan Juni 1964, “Lulus seratus persen sebanyak 12 orang”, termasuk Basri dan Kadir, meskipun kami, terutama Basri, tidak termasuk lulusan tergolong rangking baik. Dengan demikian, Basri dan Kadir berhasil menyelesaikan SD 7 tahunnya cukup satu tahun saja. Sesuai janji Kepala Sekolah, maka pada pengumuman kelulusan kami terebut Beliau mencanangkan “ SD untuk tunanetra seterusnya cukup hanya program 6 tahun saja”.
Semua kami lulusan SD tersebut langsung melanjutkan ke kelas 1 SMP. Pada catur wulan ke dua, Kadir berhasil loncat ke 2 SMP. Dengan demikian, kadir mendahului Basri dan teman-teman setahun lebih dulu. Kami memahami, karena memang ketika itu Kadir lebih tua, lebih unggul dalam sejumlah mata pelajaran tertentu seperti bahasa inggris, ilmu ukur dan aljabar. Bahkan untuk hal itu kami sering berguru pada Kadir.
Tahun 1966, Kadir lulus SMP SLBN/A bandung. Itu berarti Kadir dapat menyelesaikan SMPnya hanya dua tahun saja. Selanjutnya ia melanjutkan ke SPG I di jalan Gatot Subroto Bandung. Di sekolah ini dia tidak bisa meloncat. Dia lulus tahun 1969. Itu berarti dia tetap menempuhnya tiga tahun. Sedangkan Basri baru lulus SMP SLBN/A pada tahun 1967. Itu berarti dia menempunhya tiga tahun. Selanjutnya basri melanjutkan ke SMA PGII jalan Patayuda Bandung. Tahun 1969 basri naik ke kelas dua SOS. Karena memang secara teknis Basri banyak kesulitan mengikuti pelajaran paspal. Untuk ke kelas dua sos pun Basri banyak mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajarannya seperti tata buku dan aljabar. Sementara program sastra budaya hanya ada di kelas tiga sebagai akhir dari kurikulum 1968. Seringkali  ketika jam bebas Basri mendengarkan pelajaran kelas tiga sasbud, rasanya dia sanggup mengejar dan mengikuti. Karena memang Basri kuat dari segi hafalan terutama kebahasaan seperti bahasa inggris. Basri mencoba maju kepada Kepala Sekolah Pak Nursyaf ketika itu. Kebetulan para guru dibidang hafalan kebahasaan mendukung keinginan Basri tersebut. Kepala Sekolah menginginkan Basri dicobakan mengikuti ulangan umum catur wulan 1  di kelas tiga sasbud, tersebut dengan catatan apabila tidak bisa mengikuti harus rela kembali ke 2 sos. Upaya Basri membuahkan hasil, ia dapat mengikutinya dengan baik. Bahkan terbaik hasilnya dibandingkan dengan kelas tiga lama. Dengan demikian Basri bisa diterima resmi loncat ke kelas 3 sasbud. Akhirnya Basri dapat menyelesaikan SMAnya di PGII pada akhir tahun 1969, yang berarti sama tamat SLTAnya dengan Kadir di SPG.
Tahun 1970 Basri dan Kadir bersama kembali melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan bahasa dan sastra inggris FKSS IKIP Bandung. Awal kegiatan mahasiswa ketika itu adalah mapram. Kadir dapat mengikuti kegiatan tersebut secara penuh. Pada waktu yang sama Basri diberangkatkan haji atas undangan Raja Feisal kepada 18 orang yang terdiri dari 11 tunanetra dan 7 pendamping awas. Basri termuda dalam rombongan tersebut. Bahkan dikalangan keluarganya, Basri lah yang pertama kali berkesempatan naik haji dengan gratis. Sejak itu basri sudah berhak menyandang gelar Haji. Itulah perjalanan luar negeri pertama Basri.
Basri dan Kadir terus bersama-sama hingga ke tingkat tiga. Namun sayang Kadir berhenti sampai disana. Dia tidak menyelesaikan sarjana mudanya karena ketergantungannya pada penglihatannya yang lowvision tersebut sudah semakin menurun, sementara brailenya kurang menguasai. Akhirnya dia memutuskan untuk bekerja sebagai pengajar denan modal ijasah SPG nya saja dan ditempatkan di SLBA majalengka hingga pensiunnya. Namun Basri tetap berlanjut dan dapat menyelesaikan sarjana mudanya pada bulan juli 1973. Sejak itu Basri berhak menyandang gelar B.A.
Setelah Basri menyelesaikan sarjana mudanya, papanya sempat berkunjung ke asrama Wyata Guna dan IKIP Bandung dimana Basri mengikuti kuliah. Ia sempat menyatakan kepuasan dan kebanggaannya sekaligus mendorong semangat Basri seperti berikut: “Papa sudah cukup puas dan bangga bahwa basri telah berhasil meraih gelar sarjana muda. Paling tidak, untuk hidupmu sendiri di dalam negeri sudah memadai. Namun jika Basri ingin melanglang buana ke luar negeri, capailah sarjana penuh dengan gelar dokterandus itu”.
Papa memang motivator bagi semua anak-anaknya. Bahkan papa selalu menasehati kepada siapapun saja anak muda yang dia jumpai dengan rukun hidup yang ia rumuskan sebagai berikut: “Kalau kalian ingin sukses dalam hidup ini, hendaklah kalian berpegang pada rukun hidup yang enam berikut ini:
1.      Kalian harus yakin terhadap apa yang kalian ingin capai.
2.      Kalian harus rajin berupaya untuk mencapainya.
3.      Kalian harus jujur menjaga amanah kepercayaan orang
4.      Kalian harus hemat dalam segala hal, baik dalam bertindak, berkata-kata, maupun berbelanja.
5.      Hendaklah berteori dalam arti menggunakan akal pikiran dalam memecahkan segala masalah.
6.      Jangan berputus asa apabila menghadapi kesulitan.
Akhir nasehat beliau selalu menegaskan:
“Waar ist wil daar ist ewg-where is a will there is a way –
Dimana ada kemauan disitu ada jalan
Man jadda wajadda – siapa yang bersunguh-sungguh, tentu dia akan mendapatkannya”. Inilah kiranya yang memotivasi keluarga kami, sehingga alhamdulilah pada umumnya kami berhasil di bidang yang dicapainya masing-masing.
Awal Januari 1974, Basri diminta papanya untuk pulang guna menghadiri pernikahan salah seorang adiknya seayah bernama Erzawati. Kebetulan hanya Basri yang bisa datang diantara anak-anaknya yang ada di Jawa. Oleh karenanya Basri diperankan disana antara lain sebagai penceramah penasihat perkawinan. Sejak itu peran terebut sering diberikan kepada Basri pada setiap acara pernikahan keluarga. Selesai pesta, Basri permisi untuk kembali melanjutkan studi ke Bandung. Namun berkenaan dengan kondisi papa yang memang sudah sakit-sakitan, terutama sehari sebelum pesta berlangsung, penyakit darah tingginya anfal, sesudah pesta, kondisinya semakin kritis dan dibawa ke rumah sakit. Ketika itu beliau menjawab permohonan Basri dengan resar meminta: ”Tulis surat saja dahulu bahwa Basri kembali tertunda. Kalau-kalau Basri menyesal nanti”. Belum juga Basri menulis surat penundaan kembalinya, papanya telah menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Basri yang disaksikan kedua ibu tirinya yaitu Amak Anyar Toboh dan Amak Anyar Jati serta salah seorang cucu dari anak adiknya bernama Yadi Jayadi. Itu terjadi pada tanggal 17 Januari 1974, bersamaan dengan pecahnya peristiwa Malari di Jakarta. Akhhirnya terpaksa Basri menulis surat bukan lagi berita penundaan kembalinya, melainkan berita sedih tentang keberpulangan papanya ke rahmatullah kepada segenap keluarganya di Jawa sekaligus pemberitahuan penundaan kembalinya disebabkan peristiwa duka yang menimpanya ketika itu tersebut.
Sekembalinya Basri pada bulan Februari berikutnya ke Bandung, Basri langsung mendaftarkan diri untuk melanjutkan kuliah ke tingkat sarjana penuh sesuai harapan yang pernah papanya sampaikan sebelumnya. Jumlah kami mahasiswa tingkat sarjaana Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FKSS IKIP Bandung ketika itu hanya sepuluh orang, satu-satunya yang tunanetra adalah Basri. Dengan demikian, kepeloporan Basri sebagai tunanetra di tingkat sarjana menjadi tantangan utama.
Tahun 1975, beban perkuliahan Basri semakin berkurang. Dengan bermodalkan ijazah sarjana mudanya, Basri melamar menjadi guru sukarelawan ke SLBN/A Bandung, dimana Basri belajar tingkat SD dan SMP sebelumnya. Lamaranya dapat diterima.
Mulai tahun ajaran 1975-1976, karier keguruan Basri dimulai sambil menyelesaikan perkuliahan di tingkat kesarjanaannya. Untuk pertama kali Basri dipercaya mengajar sebagai guru kelas di kelas 4 SD, dengan hanya 3 orang murid yang sudah dewasa, dua kembar lelaki dan satu wanita. Yang diketahuinya kedua kembar lelaki itu kini telah bekerja sebagai operator di radio komunikasi Hankam yang bernama ana di Jakarta dan yang satunya bernama Asib menjadi guru di SLBN/A Bandung yang sama. Pada tahun itu juga Basri diperkenankan Tuhan memperoleh calon pendamping hidup yang siap nikah yang diberinama Iin Nuraini, bermakna cahaya mataku membantu menerangi hidup Basri selanjutnya. Pernikahan kami berlangsung pada tanggal 18 Januari 1976. Menurut adat minang, setelah menikah Basri berhak menyandang gelar Bagindo(Baginda) dari ayahnya.
Pada 17 Oktober 1976 kami dikaruniai putra pertama yang diberinama Dinal Mustaqim Basri. Pada tanggal 3 Juli 1977 Basri lulus Sarjana Penuh, yang berarti sejak waktu itu dia berhak menyandang gelar Dokerandus(Drs). Terhitung 1 Oktober 1977 Basri diangkat menjadi CPNS dengan pangkat golongan 2b, berhubung ketika diusulkan kepegawaiannya masih menggunakann ijasah sarjana muda. Berdasarkan keberhasian Basri meraih Sarjana Penuh sekaligus sebagai CPNS tadi, pada tahun itu juga Basri dipercaya menjadi Ketua Usaha Kesejahteraan Keluarga(UKK) SLBN/A Bandung, sejenis koperasi yang dibebani tugas menupayakan kesejaahteraan guru dan karyawan SLBN/A Bandung. Selanjutnya UKK tersebut dibadan hukumkan menjadi Koperasi Warga(Kopwa) SLBN/A Bandung dengan beliau sebagai pendiri utama sekaligus sebagai ketua pertamanya. Keberhasilan Basri sebagai Ketua UKK yang menonjol ketika itu adalah diperolehnya minibus Datsun Sena dari bantuan Presiden tahun 1981.
Pada bulan November 1978 Basri bersama dengan teman seniornya Rasikin ssebagai aktivis Ikatan Tunanetra Indonesia(Ikatindo) diundang ke New Delhi India untuk menghadiri International federation of The Blind(IFB) Asia Pasific Regional Convention(konvensi IFB kawasan Asia Pasific). Itulah 10 hari perjalanan Basri ke luar negeri kedua, yang sempat singgah di Bangkok, Thailand.
Pada tanggal 18 Maret 1978 Keluarga Basri dikaruniai putra kedua yang diberi nama Ilmanul Mustaqim Basri. Pada tanggal 26 Mei 1979 Keluarga Basri dikaruniai lagi putra ketiganya yang diberi nama Seli Sulider Mustaqim Basri. Pada tanggal 13 Juli 1980 Keluarga Basri memperoleh lagi putra keempatnya yang diberi nama Dominanto Mustaqim Basri. Pada tanggal 12 Juli 1981 Keluarga Basri dianugerahi puteri tunggal dari anak kelima nya yang diberi nama Linlin Nurmalinda Rahmah Ramdani Mustaqim Basri.  Pada tanggal 15 Juni 1984 keluarga Basri mendapatkan lagi anak keeam sebagi putra bungsunya yang diberi nama Hanifal Mustaqim Basri.
Pada bulan Januari 1986, Basri diutus Kepala Sekolahnya untuk menghadiri Seminar Loka Karya(Semiloka) Lowvision yang diselenggarakan oleh Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial(DNIKS) bekerja sama dengan Cumberland College of Health Sciences, Sydney, NSW, Australia. Momentum tersebut digunakan Basri untuk melobi dosen dari Australia tadi yang menyebabkan Basri disponsori untuk studi di Cumberland College of Health Science, Lidcombe, Sydney, NSW, Australia dari 17 Agustus hingga Oktober 1986 kurang lebih selama tiga bulan disana. Itulah perjalanan luarnegeri Basri ke empat terlama, setelah sebelumnya Basri melakukan perjalanan luar negeri ketiganya dalam rangka memenuhi undangan menyajikan makalah luar negeri pertamanya yang berjudul Sport and Recreation for The Blind In Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, Juli 1986.
Perjalanan luar negeri ke Australianya itu menginspirasi dan memotivasi Basri untuk melanjutkan studi ke S2 yang diterima pada Program Pengajaran Bahasa Indonesia Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung, yang dimulainya pada tahun 1988 dan selesai pada tanggal 24 Maret 1992. Dialah tunanetra pertama di Indonesia meraih S2 sehingga berhak menyandang gelar agister Pendidikan(M. Pd).
Kiranya dipandang perlu tunanetra menembus  pendidikan tertinggi. Setelah melalui testing yang sesungguhnya, pada tahun 1993 Basri melanjutkan ke S3 pada program dan tempat yang sama. Setelah melalui perjuangan yang alot dan panjang, pada tanggal 3 Oktober 2001 Basri berhak pula menyandang gelar Doktor Pendidikan yang dinobatkan oleh Koran Kompas sebagai doctor tunanetra Pertama di Indonesia, yang pada kesempatan promosi doctor tersebut beliau menyatakan: “kalau pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 20 Oktober 1999 Gusdur menyatakan kemerdekaan Demokrasi Indonesia, maka pada hari ini 3 Oktober 2001 saya menyatakan kemerdekaan bagi tunanetra untuk mengikuti pendidikan tertinggi setinggi mungkin di seluruh Indonesia.
Sekembalinya Basrid dari Australia, dia berpikir bahwa tunanetra seharusnya mempunyai hak untuk maju baik dibidang pendidikan maupun menduduki jabatan. Untuk suatu jabatan apapun, sesungguhnya siapapun juga baru dapat memperolehnya setelah melalui perjuangan. Apatah lagi tunanetra seperti Basri. Sementara kalau Basri tidak berjuang meraih itu, perubahan untuk kepentingan tunanetra sulit dapat diharapkan.
Pada tahun 1991 Basri sempat mengunjungi Xian, Cina melalui Hongkong. Pada forum seminar disana, Basri menyajikan makalah luar negerinya yang kedua yang berjudul : “Massage for Th Blind In Indonesia”. Disana beliau sempat berkunjung ke Massage Hospital, dari 47 dokter yang bertugas disana, 27 diantaranya adalah tunanetra. Ini berarti peran tunanetra diperhitungkan disana.
Pada tahun 1993, Basri berkesempatan menghadiri seminar massage untuk tunanetra di Tsukuba, Jepang. Disana Basri bertemu dengan dokter kesehatan tunanetra. Bahkan ada seorang Profesor tunanetra di bidang massage. Ini berarti pekerjaan pijat memijat adalah pekerjaan yang professional yang bukan rendahan. Pada tahun itu juga Basri dan Istrinya bekesempatan mengunjungi Groningen, Belanda. Event yang dihadiri adalah konferensi Lowvision 93 sedunia. Sudah barang tentu banyak utusan negara di dunia yang hadir. Dengan demikian, kami banyak bertukar pikiran dari pengetahuan dan pengalaman masing-masing negara dalam menangani dan melayani ikhwal kepenyandangcacatan.
Pada tahun 1995, Basri terundang kemabli ke Kuala Lumpur, Malaysia, guna menghadiri seminar dan Konferensi Asian Blind Union(ABU). Ketika itu makalah yang ditulis Basri bejudul “ Independence for The Visually Impaired In Indonesia” diterima untuk disajikan sebagai makalah luar negeri Basri yang ketiga. Hal itu semakin membuat Basri percaya diri.
Tahun 1996, Basri kembali berangkat ke Colombo, Srilangka bersama dua orang  aktivis seniornya Rahsikin dan Suharto untuk menghadiri Konferensi ABU.
Tahun 1997 Basri dan Rasikin terundang pula ke Kathmandu, Nepal juga menghadiri Konferensi ABU. Semua perjalanan itu menginspirasi dan memotivasi Basri lebih berperan lagi melakukan perubahan system layanan pendidikan tunanetra yang lebih berkembang maju lagi.
Sekembalinya Basri dari Australia pada tahun 1986, ambisinya untuk menjadi Kepala Sekolah sudah menjadi impian. Ketika itu dia memang berpendapat bahwa setidaknya pada posisi itu dia dapat mewujudkan perubahan system layanan pendidikan tunanetra secara bertahap akan dapat diharapkan. Namun dikarenakan masih ada guru senior yang dimajukan Kepala Sekolah ketika itu. Basri berpaling ambisinya memilih meminta izin belajar meraih magister S2 dengan asumsi kalaupun tidak bisa mejadi raja kecil sebagai Kepala Sekolah, biarlah menjadi rakyat besar sebagai dosen selesai S2 nanti.
Seteleh selesai S2 pada tahun 1992, pergantian Kepala Sekolah sudah waktunya. Dilihat dari berbagai segi seperti golongan kepangkatan dan pendidikan Basri sudah yang terunggul di sekolahnya. Namun dikarenakan Basri tunanetra, pesaingnya yang sedikit lebih senior berhasil memenangkan dan berhasil menyingkirkan Basri. Peluang Basri menjadi dosen juga menjadi perjuangan ketika itu, juga belum berhasil. Lagi-lagi Basri memalinkan ambisiya untuk mempelopori tunanetra meraih pendidikan tertinggi S3. Sambil mencari peluang menjadi dosen, ambisinya menjadi Kepala Sekolah tetap tidak padam. Berbagai rekomendasi diperolehnya untuk mendukung perjuangannya tersebut, seperti dari Kepala Kanwil Depsos Jawa barat, Kepala Biro Kepegawaian Depdikbud, Sekjen Depdikbud, bahkan Mendikbud Prof. Dr. Yuono Sudarsono ketika itu. Setelah berbagai tantangan yang menghambat dapat diatasi Basri, baru pada tahun 2000-an Basri memperoleh harapan dengan diizinkannya mengikuti testing Calon Kepala Sekolah ketika itu. Yang member peluang satu-satunya tunanetra Basri mengikuti testing Calon Kepala Sekolah ketika itu adalah Ka Kanwil Depdiknas Bapak Drs. Jajuli, didukung Kabid. Dikdas Bapak Drs. E. Kusnadi dan Kasi Tentis ketika itu Bapak Drs. Karman. Sementara semua pengawas PLB boleh dikatakan tidak ada yang mendukung tunanetra bisa untuk menjadi Kepala Sekolah. Kenyataannya kebanyakann hanya pejabat yang bukan dari PLB yang mendukung Basri bisa menjadi Kepala Sekolah tunanetra.
Yang menarik untuk diungkap dan dikenang kembali tantangan Basri ketika itu adalah pada suatu ketika seorang pengawas PLB bernama Yahya ditugasi meneliti keberadaan Basri di lapangan tempatnya bekerja. Oleh karena Kepala Sekolah atasan langsung Basri ketika itu memang tidak mendukung bahkan mendeskreditkan Basri dengan segala kenegatifannya kepada pihak dinas, Basri mencoba mengklarifikasi kepada fihak pengawas tersebut namun tetap diterima dengan negative.
Kalau nasib sudah mulai berfihak kepada kebenaran perjuangan Basri, dengan tidak disangka Bapak Kasi Tentis Drs. Karman meminta Basri secaraa khusus mengklarifikasi hal-hal yang menegatifkan basri kepadanya tersendiri pada hari yang ditentukan. Dari kesimpulan pembicaraan kami ketika itu, apa yang beliau peroleh selama ini ternyata tidak benar bahkan dia menilai Basri sesungguhnya adalah lembut selembut salju. Sebagai akhir kesimpulan dari pembicaraan kami, Pak Karman berkata, “Sekarang juga mari saya antar Pak Basri menghadap Pak Kabid Kusnadi kita”. Belum lagi maksud Pak Karman tersebut dilaksanakan, dengan tidak disangka Pak Kusnadi datang ke ruangan Pak Karman menceritakan tanggapannya terhadap laporan pengawas tentang hasil penelitiannya terhadap Pak Basri di lapangan yang kurang lebih dialog yang terjadi seperti berikut: Pengawas melapor, “Pak Kabid, bagaimana kita bisa merekomendasi Pak Basri untuk menjadi Kepala Sekolah, sedangkan dia sudah dua tahun tidak mengajar”. Spontan Pak Kabid merespon dengan penuh tanda tanya, “Apa kerja anda selama ini sampai-sampai Pak Basri hingga dua tahun tidak mengajar ??”. itulah kalau nasib baik sudah mulai berpihak. Selanjutnya beliau berkomentar yang maksudnya memberikan penilaian terhadap berkas bukti fisik administrasi yang diajukan Basri kesimpulanya adalah, “Pak Basri jangankan menjadi Kepala Sekolah, menjadi pengawas dan Kasi pun pantas”, “khusus untuk menilai Pak Basri ini, saya sudah membentuk Tim Tujuh” demikian lanjut Pak Kusnadi.
Sebelum Pak Kusnadi datang, Pak Karman sempat bertanya, “Kira-kira Pak Basri lulus tidak?”. Dengan tegas dan menyakinkan Basri menjawab, “Saya yakin lulus Pak, kecuali kalau memang tidak diluluskan”. Seketika itu juga Pak Karman menyatakan bahwa sesungguhnya Pak Basri sudah lulus. Dalam hari Basri mempertanyakan, “Masa iya tidak lulus. Yang lain lulus semua. Sedangkan Basri sedang hangat-hangatnya belajar sebagai siswa S3”.
Yang menjadi permasalahan berikutnya bagi Basri adalah soal penempatan. Memang ada dua kemungkinan tempat yang menjadi harapan Basri yaitu SLBN/A Bandung dan Cimahi. Oleh karena kedua Kepala Sekolah tersebut sudah melampaui periodesasinya.
Pada akhir tahun 2000, dari semuanya 20 orang yang dinyatakan lulus Calon Kepala Sekolah, semuanya sudah dilantik dan ditempatkan pada SLB swasta, kecuali hanya Basri sendiri yang belum dilantik, oleh karena kedua tempat tersebut pemindahan kedua Kepala Sekolahnya masih menjadi polemik.
Resistensi pro kontra terhadap Basri tidak hanya datang dari kalangan atas saja, kalangan bawah pun juga demikian baik dari Bandung maupun dari Cimahi. Semua itu dihadapi Basri dengan penuh liku-liku.
Memasuki awal tahun 2001. Semua struktur di dinas pendidikan Jawa Barat berubah total. Ka Kanwil Depdiknas Bapak Drs. Jajuli diganti menjadi Ka. Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat dengan Bapak Udin Koswara, S.H. Kabid Diknas  Bapak Drs. Kusnadi diganti menjadi Kasubdin PLB Bapak Drs. Topandi. Kasi Tentis Bapak. Drs. Karman  diganti menjadi Kasi Ketenagaan Bapak Drs. Emon. Kasi Kurikulum PLB masih dijabat oleh Bapak Drs. Nondi Hidayat. Meskipun pejabat lama mengatakan sudah menitipkan Basri kepada pejabat baru, namun pendekatannya memerlukan energy dan strategi baru pula.
Konon kabarnya SK Pak Basri sudah ditanda tangani oleh Bpk. Drs. Jajuli. Namun keberadaaanya tidak jelas karena kondisinya sedang transisional. Ada yang mengatakan sudah dikirim ke Kandepdiknas Kota Bandung. Setelah diteliti ternyata dialihkan ke Kandep Kabupaten Bandung. Kemudian ditelusuri ternyata sudah dikembalikan ke Dinas Pendidikan Jawa Barat. Proses perjuangan ini berlangsung hingga Juni 2001.
Tantangan yang paling kritis bagi Basri dalam memperjuangkan jabatan terendah ini terjadi pada tanggal 27-28 Juni 2001. Pasalnya pada tanggal 27 Junii 2001 pagi menjelang siang Basri telah memperoleh memo undangan untuk dilantik keesokan harinya di Kantor Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat dengan berpakaian resmi. Sialnya pada sore hari tersebut 28 orang guru dan karyawan SLBN/A Cimahi berunjuk rasa ke Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat yang diterima oleh wakilnya Bapak Drs. Iim Waskiman, M.Pd, M.Si. yang intinya menolak ditempatkan Basri menjadi Kepala Sekolah di Cimahi. Peristiwa itu sungguh terkesan sebagai tantangan yang mengagetkan. Alasan mereka sangat subyektif.
Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, berdasarkan laporan Wakil Kepala Dinas, maka Kepala Dinas menunda pelantikan Basri, sementara pelantikan kepindahan Ibu Dra. Eti Roheiti dari Citeureup, Cimahi ke Cicendo Bandung tetap dilaksanakan sesuai rencana tadinya bersama Basri. Dengan demikian, kepemimpinan SLBN/A Cimahi ditunjuk Bapak Drs. Nondi Hidayat sebagai PJMT. Lagi-lagi perjuangan Basri  tertantang dengan keras. Bagaimanapun Basri tidak kenal menyerah dalam berjuang. Dia merasa punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.
Sesuai pelantikan mutasi Ibu Eti tertanggal 28 Juni 2001 tersebut, para pengunjuk rasa yang dipimpin Mia dan Tantan tunanetra kemarin dipanggil untuk beraudiensi dengan Pak Kadis guna mengetahui apa yang menjadi alasan mereka menolak Basri. Sesungguhnya secara sembunyi-sembunyi didalam mobil, Basri berada didalam halaman dinas guna memantau kegiatan unjuk rasa mereka yang sesungguhnya. Keberadaan Basri disana diketahui oleh Pak Kadis dan diminta Basri untuk hadir pada peristiwa itu. Ironisnya diantara pengunjuk rasa itu terdapat lima orang tunanetra teman kaum senasib Basri yang terprofokasi. Dari kesimpulan dialog interaktif yang tidak bermutu serta cenderung tendensius itu, Bapak Kadis Udin Koswara menyatakan dengan kesalnya: “Peristiwa ini adalah peristiwa yang ironis aneh tapi nyata. Sementara para penyandang cacat tunanetra memperjuangkan persamaan haknya, setelah ada penyandang cacat tunanetra yang dipandang layak untuk diberi kepercayaan jabatan, justru para teman senasibnya sendiri yang menolak”. Peristiwa tersebut mengharukan Pak Kadis sendiri berikut para pembantunya turut simpati kepada Basri. Bahkan ada diantara mereka yang meneteskan airmata. Pak Kadis melepas Basri ketika itu dengan salam pelukan dan elusan punggung yang menyabarkan Basri untuk sementara. Begitu pula diikuti para staf Pak Kadis yang hadir lainnya. Peristiwa tersebut sungguh menantang Basri untuk tidak boleh menyerah apabila berada pada jalur yang benar.
Sambil menuntaskan program studi S3 nya, Basri terus berjuang mencari jalan untuk meyakinkan Pak Kaadis guna memenangkan Basri. Pendekatan kedinasan dilakukan Basri lewat Pak Topandi selaku kasubdin PLB dan Pak Nondi selaku Kasi Kurikulum yang memang berpihak pada Basri. Dengan keluasaan pergaulan Pak Basri yang tepat sasaran, perjuangannya mendapat simpati dan dukungan dari Bapak Drs.  H. Kadarsah, seorang mantan pejabat Kabid Diknas yang cukup disegani oleh penerusnya termasuk Bapak Kadis Udin Koswara, S.H.  sendiri. Beliau berkenan mengantar Basri secara langsung menghadap Pak Kadis untuk meyakinkan beliau agar tetap melantik Pak Basri dengan mengabaikan pengunjuk rasa, yang sesungguhnya mereka bisa diancam dengan PP30 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil yang bisa ditindak karena melawan perintah atasan. Hasilnya Pak Kadis berjanji memenuhi harapan Pak Kadarsah dan memerintahkan Pak Nopandi untuk melakukan pembinaan terhadap para pengunjuk rasa serta dengan tegas menyampaikan bahwa kebijakan Pak Kadis menempatkan Pak Basri sebagai Kepala Sekolah SLBN/A Cimahi sudah final dan tidak dapat ditolak dan diganggu gugat lagi.
Upaya Pak Basri meyakinkan Pak Kadis terakhir adalah mengundang Pak Kadis dan staffnya untuk menghadiri Promosi gelar Doktor Basri pada tanggal 3 Oktober 2001 sebagai doctor tunanetra pertama di Indonesia. Meskipun beliau tidak dapat menghadirinya secara langsung, hadiahnya beliau mengundang Basri untuk dilantik di depan Rapat Koordinasi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kota seJawa barat di Grand Hotel Lembang pada tanggal 17 Oktober 2001.
Terhitung sejak dilantiknya Basri ketika itu, maka resmilah beliau menjadi Kepala Sekolah tunanetra pertama di SLBN/A Kota Cimahi, yang sekaligus menjadi Kepala Seter II melayani kebutuhan SLB-SLB di kawasan Jawa Barat dan Banten. Sebagai Kepala Sekolah telah tersedia rumah dinas dan sebagai Kepala Senter telah tersedia pula mobil dinas dengan sopir yang dibayar dana operasional sekolah. Sejak itu Basri bertugas membenahi yang tidak beres dan membina para guru dan karyawan terutama yang pernah menentang kedatangan beliau kesana. Setahap demi setahap namun pasti beliau berhasil melakukan perubahan yang semakin baik; seperti perbaikan sekolah, penataan kelas, penataan serta penertiban penggunaan rumah dinas demi keadilan, pengaturan pelayanan pendidikan baik kedalam maupun ke luar. Sehingga pada periodenya banyak tantangan yang dihadapi dan dapat diatasi. Maka hasilnya beliau dalam kepemimpinannya sekolah mendapat penilaian sebagai salah satu sekolah SLBN/A yang terunggul di Jawa Barat yang mendapat penghargaan dari Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat.
Dikarenakan prestasinya yang berani melakukan perubahan secara drastic, juli 2003 beliau dimutasi untuk membenahi SLBN/A Kota Bandung yang sulit berkembang. Serah terima baru berlangsung pada bulan Oktober 2003. Sejak bulan itu Basri menjabat sebagai Kepala Sekolah tunanetra pertama di SLBN/A Kota Bandung, yang berarti Basri kembali ke asal dengan menjadi orang nomor satu di sana.
Seperti yang pernah terbetus dari Kasubdin PLB pada waktu serah terima Ibu Euis Karwati pernah berkata, “Nah ini Pak Basri si pemberani”, yang maksudnya diharapkan dengan keberaniannya dapat membenahi SLBN/A Pajajaran Bandung yang senantiasa permasalahannya selalu pelik dan sulit diatasi untuk kemajuannya. Padahal SLB tersebut adalah SLB pertama dan tertua di Indonesia. Dapat dikatakan SLBA yang berkembang di seluruh Indonesia sebagian besar dirintis oleh para alumni dari SLBN/A Bandung ini. SLBN/A Cimahi yang menjadi Senter II itu tadinya adallah filial dari SLBN/A Bandung.
Permasalahan pokoknya adalah lahannya yang dikuasai oleh Depsos dari SLBN/A Bandung sehingga sulit menentukan pengembangannya sendiri, ditambah rumah dinas Kepala Sekolah terus saja dikuasai oleh ahli waris Kepala Sekolah orang Indonesia pertama yang ingin menguasai bahkan ingin memilikinya secara pribadi untuk keluarga mereka sebagai tuntutan balas jasa ayahnya almarhum sebagai Kepala Sekolah Indonesia Pertama.
Basri mengakui akan jasa Kepala Sekolah tersebut, bahkan khusus berjasa bagi Basri sendiri yang telah memberikan kesempatan dan mendorong Basri untuk bisa maju di bidang pendidikan seperti yang diperoleh Basri saat ini. Namun hati kecil Basri tidak bisa menerima kalau jasa tersebut harus ditebus dengan rumah dinas yang diperuntukkan untuk Kepala Sekolah yang berdinas dalam rangka intensistas pelayanan pendidikan terhadap tunanetra disana siang-malam. Oleh karenanya Basri mulai memberanikan diri untuk memproses tuntutan tersebut. Saking kuatnya cengkraman mereka menguasai rumah dinas tersebut, sudah lima Kepala Sekolah awas penggantinya yang tidak mampu dan pasrah untuk tidak menggugatnya.
Dengan tekat membela kebenaran demi hak pelayanan pendidikan tunanetra yang sudah disediakan oleh para  pendirinya dahulu, Basri mulai memprosesnya secara kekeluargaan, namun tetap tidak berhasil. Terpaksalah Basri memprosesnya secara hokum, yang dimulai dengan mencari pengacara bantuan hokum, yang dibantu oleh Pusbakum. Kemudian melaporkannya kepada pihak kepolisian, maju ke kejaksaan, maju ke sidang Pengadilan Negeri Bandung dan dimenangkan. Mereka banding, Basri melakukan pendekatan dengan pihak Pengadilan Tinggi dan juga dimenangkan bahkan sesungguhnya sudah ingkrah secara pidana yang sayangnya tidak dikurung. Sementara mereka masih berkilah belum tertuntut secara perdata, sehingga mereka masih saja bertahan karena tidak bisa dieksekusi.
Setelah terinspirasi keberhasilan Basri menuntutnya secara pidana, maka Depsos sebagai pemilik lahan yang sah meneruskan tuntutannya secara perdata. Kabarnya sudah dimenangkan sampai tingkat banding. Namun mereka tetap gigih memperjuangkan yang bukan hak mereka smpai ke tingkat kasasi. Sampai naskah ini ditulis belum terdengar hasil maju mundurnya persoalan tersebut.
Kini Basri memang sudah pension. Namun Basri yakin dengan sudah memulainya penuntutan kea rah keberhasilan, maka lambat atau cepat Basri yakin hak fasilitas layanan untuk pendidikan tunanetra tersebut akan berhasil ke depan.
Sambil memperjuangkan hal yang sangat pelik tersebut, Basri berhasil membenahi fasilitas kantor, perlistrikan sekolah, penantaan perpustakaan, merehab bangunan sekolah, terakreditasi dengan nilai B plus, serta tertunjuk menjadi Resource Center Penjas Adaptif, mendapatkan mesin cetak Braillo, dan mendapatkan fasilitas internet baik oleh sekolah sendiri maupun bekerja sama denan Yayasan Mitra Netra dan Melsa yang menggratiskan untuk anak didik tunanetra.
Sebagai aktivis di berbagai organisasi baik ketunanetraan maupun kepenyandangcacatan, dismping beliau berkesempatan berkunjung keberbagai negara di luar negeri, beliau berkesempatan pula bersalaman dengan RI 1 dan RI II pada berbagai peristiwa resmi seperti dengan Presiden Soeharto, Wapres Adam Malik, Wapres Tri Sutrisno, Wapres Hamzah Haz, serta dua kali membaca doa di hadapan Presiden SBY di Istana Negara pada peringatan Hari Internasional Penyadang Cacat(Hipenca) tingkat nasional tahun 2005 dan tahun 2008. Pada kesempatan tersebut Bapak Presiden SBY mengakui dan menghargai Basri sebagai tunanetra pertama peraih gelar doctor di Indonesia sekaligus merestui keinginan Basrii untuk keliling Indonesia menjadi motivator bagi anak bangsa pada umumnya dan bagi para penyandang cacat khususnya terutama tunanetra.
Kini Pak Basri sudah pension dari PNS pada pangkat/golongan terakhir 4C dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Sekolah SLBN/A Bandung efektif sejak 1 Januari 2009, yang sesungguhnya sejak 1 Mei 2008.
Jabatan puncaknya di organisasi kemasyarakatan ketunanetraan sebagai Ketua Umum DPP Ikatan Tunanetra Muslim Indonesi(ITMI) yang ia salah satu perintis pendiriannya, yang dijabatnya secara terpilih pada Munas ITMI kesatu pada bulan Mei 2004 di Yogyakarta, berakhir dan diestafetkan kepada generasi peneruspada Munas kedua ITMI di Bandung pada bulan Juni 2009.
Sebagai manusia aktivis yang diberi kehidupan oleh Tuhan hingga saat ini, Pak Basri tidak ingin pension sampai akhir hayat dikandung badan. Untuk itu beliau tetap menyumbangkan tenaga dan pikirannya di masyarakat khususnya di kalangan penyandang cacat terutama di bidang pendidikan. Basri merasa bahwa keberhasilannya di bidang pendidikan banyak dibantu orang. Oleh karnanya beliau bertekad sebisa mungkin akan tetap membantu memperjuangkan kelancaran pendidikan generasi penerusnya. Untuk itu beliau bersama istrinya yang kebetulan sprofesi merintis pendirian SLB dan pendidikan umum swasta lainnya dibawah Yayasan Rukun Bina Sejahtera(YRBB) yang beliau dirikan dan pimpin sendiri sebagai ketuanya hingga akhir hayatnya karena yayasan ini adalah yayasan keluarganya. Dibawah yayasan tersebut kini sudah berjalan SLB-ABCD YRBB dan PAUD Anak Sholeh Briliant YRBB yang sudah memiliki izin operasional.
Sebagai hasil pengamatan perkembangankemajuan sejumlah yayasan selaku penyelenggara pendidikan penyandang cacat di kota Bandung khususnya, Pak Basri memandang perlu terbentuknya sebuah wadah yang menghimpun para penyelenggara tersebut untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan bersama karena memang wadah tersebut belum ada di Indonesia ini. Setelah Pak Basri menyampaikan maksudnya kepada Bapak Drs. H. Rajaminsyah selaku Ketua Yayasan PKSM SLB Murni, beliau menyambut dengan antusias, maka sejak Januari 2000 mereka berdua mulai merintis dan menyosialisasikannya dalam waktu yang cukup panjang. Maka terbentuklah wadah tersebut yang disepakati pada tanggal 21 Agustus 2010 yang di deklarasikan di Hotel Posters Jalan P.H.H. Mustafa/Suci no. 33a Kota Bandung dengan nama ASSOSIASI PENYELENGGARA PENDIDIKAN KAUM KEBUTUHAN KHUSUS INDONESIA disingkat AP2KBKI dengan Pak Basri dan Pak Raja sendiri sebagai Ketua Umum.
Yang paling disyukuri Pak Basri sekeluarga terakhir ini adalah dengan uang yang mereka hasilkan dan kumpulkan berdua suami istri dibantu dan difasilitasi kakaknya Basri yang bernama Ir. H. Ahmaddin, yang kebetulan pemilik dari perusahaan biro perjalanan  Umrah Haji Dzikra yang mengantarkan Basri suami istri melaksanakan Haji Plus kedua kali sebagai penyempurna. Hanya Ahmad inilah kakak Basri satu-satunya sebagai saudara yang melepas Basri naik haji pertama pada tahun 1970, yang ketika itu beliau sedang masih kuliah di Bandung bersama Basri. Kali ini beliau juga yang membantu dan memfasilitasi serta turut menyambut dan memantau serta mengawasi pelaksanaan haji kami selama pelaksanaan ibadah haji dari tanggal 26 Oktober hingga tanggal 22 November 2011 untuk itu kami bersyukur kepada Allah SWT.
Catatan kegagalan dan kesyukuran Basri dalam mengarungi kehidupan ini:
1.      Basri gagal menjadi orang melihat, namun tetap bersyukur menjadi tunanetra.
Sesungguhnya Basri terlahir normal , namun setelah dia menginjak usia 2-3 tahun, Basri terserang penyakit cacar yang menyebabkan matanya menjadi tunanetra. Upaya penyembuhan sudah dilakukan oleh keluarganya baik medis maupun tradisional. Sejumlah dokter spesialis mata yang cukup terkenal sudah dicoba didatangi dan sudah mencoba mengoperasinya seperti dr. maas sudah dua kali mengoperasi Basri di Medan. Dioperasi dr. Yap satu kali di Yogyakarta. Dan terakhir diperiksa oleh Prof. Bilson di Australia yang menyatakan angkat tangan. Dengan demikian Basri gagal menjadi orang melihat dan tetap menjadi tunanetra bahkan menjadi total tuna netra hingga sekarang.
Namun Basri tetap bersyukur menjadi tunanetra. Oleh karena apa yang bisa didapatkan oleh orang melihat, relative Basri bisa pula mendapatkannya. Seperti yang telah dipaparkan di atas dengan pendidikan puncak meraih gelar doctor dan karir puncak sebagai Kepala Sekolah dan Ketua Umum organisasi.
2.      Basri gagal menjadi pengemis di pinggir jalan.
Namun bersyukur mendapatkan bantuan terhormat dan bermartabat. Ketika kecil hingga umur delapan tahun Basri tidak menyadari bahwa dia buta alias tidak melihat. Ia hanya mengaku kabur alias rabun saja. Oleh karena ketika itu penglihatannya masih ada sekedar bebas untuk bermain. Namun setelah dia berusia Sembilan tahun ke atas, baru mulai disadarinya bahwa dia adalah buta alias tunanetra alias tidak melihat. Sangat dirasakan olehnya ketika waktu bermain di waktu musim sekolah, Basri tidak bisa bermain karena temannya pada sekolah. Sementra Basri tidak bisa sekolah karena orangtuanya tidak tahu kemana Basri harus disekolahkan. Pernah Basri dimasukkan ke madrasah di depan rumah Gang Tengah Jalan Puri Medan. Namun karena Basri tidak bisa membaca papan tulis dan tidak pula bisa membaca tulisan besar sekalipun di buku tulis, Basri pun keluar dan tidak melanjutkan. Yang diketahui Basri ketika itu orang buta biasanya hanya minta sedekah. Dengan demikian bayangan masa depan Basri hanyalah menjadi peminta-minta.
Ternyata apa yang dibayangkan Basri tersebut gagal. Kegagalannya tersebut sekaligus kesyukurannya dimulai sejakditemukannya Basri oleh kakaknya yang bernama Ahmad safi’I di rumah kakek adik neneknya lagi bermain di pinggir Gang Santun Jalan Amaliun Medan. Lalu dibawa ke Kabanjahe. Kemudian dibawa papanya ke Jawa untuk berobat di Yogya. Karena gagal lalu dibawa ke Bandung untuk sekolah di rumah buta Bandung.
Dari sanalah Basri berhasil memperoleh bantuan terhormat dan bermartabat, bantuan perhatian dari keluarganya yang kini menaruh harapan, bantuan dari Depsos melalui Asrama Wiyata guna dalam bentuk pemeliharaan dan pendidikan dasar yang didukung SLBN/A Bandung, bantuan kemudahan kemudahan pendidikan SMA PGII Bandung, bantuan kemudahan pendidikan tinggi di IKIP hingga UPI bandung, bantuan beasiswa dari Badan Pembina Wyata Guna, perorangan Ibu Rita Amongpraja, beasiswa Caltex, Supersemar, M. Bob Hasan. TMPD Dirjen Perguruan Tinggi dan bantuan perorangan lainnya.
3.      Basri gagal melek huruf latin namun bersyukur bisa melek huruf braile
Oleh karena Basri tidak dapat melihat, dengan sendirina huruf latin tidak dapat dikuasainya. Dengan demikian terancamlah kesempatannya memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya. Namun dikarenakan beliau berkesempatan mendapatkan pelatihan di Rumah Buta Bandung yang memperkenalkan huruf Braille kepadanya, Basri belajar keras menguasai huruf braile tersebut, maka dengan modal kemampuan yang sangat mendasar itu Basri berhasil menembus hambatan pendidikan hingga berhasil mempelopori pendidikan tertinggi yang tadinya belum pernah  tercapai oleh tunanetra di Indonesia. Bahkan dengan kemampuannya menguasai huruf Braille tersebut, beliau mampu menulis latin sendiri dengan cara mengetik awas sepuluh jari. Hanya membaca latin yang tidak dapat dilakukannya. Bahkan kini tunanetra sudah bisa menulis dan membaca huruf latin lewat computer bantuan program bicara sehingga tunanetra sudah bisa berselancar di dunia maya sebagaimana layaknya orang non cacat pada umumnya.
4.      Basri gagal menjadi orang yang diam di rumah saja.
Namun bersyukur Basri bisa melanglang buana dalam dan luar negeri. Ketika Basri menyadari akan kebutaannya yang tidak berpengharapan sembuh, yang terbayang bagi Basri nanti hanya diam di rumah saja. Namun ketika Basri dibawa papanya bisa mengikuti pendidikan di Wiyata Guna Bandung, semangat Basri bangkit seirama dengan kebangkitan semangat yang terngiang-ngiang akan pesan papa yang menyemangati Basri ketika bertemu tak lama sebelum kepulangannya ke rahmatullah, yang ternyata alhamdulilah Basri telah banyak berkunjung ke berbagai daerah di dalam negeri serta sudah lebih dari 20 negara dia jajaki di luar negeri.
5.      Basri gagal menjadi jomblo dan tak bakal punya anak.
Namun Basri bersyukur ternyata punya seorang istri yang cinta dan setia, yang mampu memberinya enam orang anak. Sebagai orang yang pada awal menyadari akan kebutaannya, yang terbayangkan oleh Basri bahwa dia akan hidup sendiri, tidak punya istri yang menyebabkan tidak mungkin punya anak. Oleh karena kualitas orang buta yang dibayangkannya ketika itu adalah orang yang berkualitas sangat rendah. Orang yang tidak bisa dididik. Orang yang tidak bisa dilatih. Orang yang tidak terampil. Dengan sendirinya adalah orang yang tidak bisa bekerja. Akibatnya- orang buta itu adalah orang yang tidak punya mata pencarian. Dengan begitu tentu saja tidak ada yang mau menjadi istri orang buta itu.
Ternyata kenyataannya menunjukkan lain. Setelah ternyata Basri bisa dididik, Basri berusaha meningkatkan kualitas dirinya dengan mengejar pendidikan setingginya. Basri yang tadinya terlambat masuk sekolah, yang hanya bisa diterima di latihan kerja untuk tunanetra dewasa, Basri berjuang mendapatkan pendidikan formal SD 6 tahun dapat diselesaikan 1 tahun, SMA 3 tahun diselesaikannya 2 tahun, Sarjana Muda di perguruan tinggi dapat diraihnya sehingga dia berhasil memantaskan dirinya sebagai tunanetra yang berkualitas. Dengan sendirinya dia menjadi orang yang percaya diri yang menyebabkan ada gadis yang tertarik kepadanya. Salah satu yang paling gigih menginginkan Basri adalah istrinya sekarang ini. Itulah cahaya matanya yang ia ganti namanya menjadi Iin Nuraini. Dengan Basri memperoleh 5 orang putra dan seorang putrid. Dengannya pula Basri terdorong meningkatkan kualitas dirinya sehingga memperoleh gelar Sarjana Penuh(Drs), magister pendidikan S2(M.Pd) dan Pholosophy of Doctor S3(Phd/Dr). yang istrinya juga berpendidikan sarjana(S.Pd).
6.      Basri gagal menjadi anggota legislative, namun tetap bersyukur pernah menjadi Calon Legislatif(Caleg).
Basri memang gagal meraih suara yang diperlukan untuk bisa menjadi anggota DPR RI yang jumlahnya harus mencapai minimal lebih dari 75000 suara. Sedangkan Basri hanya memperoleh 1682 suara. Meskipun demikian Basri tetap ada kepuasan tersendiri karena dalam waktu yang sangat singkat serta dengan modal yang sangat terbatas masih ada yang berkenan memilih Basri yang tunanetra. Untuk itu Basri ucapkan banyak terima kasih kepada pemilihnya.
Bisa menjadi Caleg saja Basri sudahbersyukur. Oleh karena pada aturan persyaratan menjadi Caleg sebelum periode reformasi tunanetra tertutup menjadi caleg. Yang menghambat adalah salah satu persyaratannya menyatakan harus bisa baca tulis latin. Dengan demikian orang yang bisa tulis baca Latin tanpa pendidikan yang berarti bisa menjadi Caleg. Sementara tunanetra yang sudah meraih gelar Doktor sekalipun tidak bisa menjadi caleg. Maka dengan berhasilnya kami aktivis penyandang cacat tunanetra khususnya memperjuangkan dihilangkannya istilah latin tersebut, cukup dengan mampu tulis baca saja, maka terbukalah peluang bagi Basri dan rekan-rekannya yang tunanetra menjadi Caleg pada pemilihan tahun 2009. Semoga peluang tersebut tetap terbuka seterusnya.
7.      Basri gagal menjadi menteri. Namun tetap bersyukur memiliki gelar Doktor.
Basri memang pernah melamar menjadi Menteri Pendidikan atau Menteri Sosial kepada Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun tidak ditanggapi. Padahall Basri sudah menyampaikan program prioritas dengan lebih memprioritaskan pendidikan atau penanganan masalah social dengan mengentaskan warga negara Indonesia yang paling miskin terlebih dahulu. Dengan sendirinya lapisan ke atasnya akan terangkat secara otomatis. Sayang tidak mendapat perhatian.
Namun Basri tetap merasa bangga bisa mempelopori tunanetra meraih gelar Doktor. Betapa tidak, Bapak Fahmi Idris yang sudah pernah menduduki jabatan Menteri Tenaga Kerja dan Perindustrian itu dalam sebuah wawancara dia pernah mengatakan: “Saya bersyukur sudah bisa menjadi menteri yang tidak pernah saya perkirakan sebelumnya. Namun saya masih belum puas karena harapan ibu saya belum saya penuhi yaitu meraih gelar Doktor”. Sementara Basri sudah memperolehnya, Alhamdulillah.

Demikian riwayat singkat perjalanan tunanetra Ahmad Basri Nur Sikumbang menuju peraihan gelar doctor tunanetra pertama di Indonesia sampai pada jabatan terendah yang bisa dicapainya sebagai Kepala Sekolah tunanetra pertama di SLBN/A Kota Cimahi dann Kota Bandung hingga purna tugasnya sebagai PNS. Pada kesempatan berikutnya Basri bermaksud menuliskan pengalamannya yang lebih rinci lagi mengenai suka duka pengalamannya sekaligus penyampaian buah pikirannya untuk direnungkan dengan harapan akan dapat menjadi motivasi bagi pembacanya yang akan meneruskan perjuangan peningkatan kehidupan yang lebih baik lagi bagi diri pribadi masing-masing, bagi keluarganya, bagi masyarakatnya, bagi bangsa dan negaranya serta bagi kemanusiaan dan keagamaannya menuju Tuhannya.
Koreksi dan dorongan serta kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan Basri. Semoga menjadi manfaat  bagi siapa saja yang membaca tulisan sederhana ini.

Bandung,……………………………….


Wassalam Penulis.

HABANUS
(Dr. H. Ahmad Basri N.S., Drs., M.Pd.)

1 komentar: