Kamis, 10 Maret 2011

Kenapa Aku Menjadi Buta?


Menelusuri Sambil Melukis Kehidupan dalam Kegelapan
To Explore while Painting Life In The Darkness

Kenapa Aku Menjadi Buta?
Why do I Become Blind ?

Menjadi buta bukan sebuah pilihan melainkan takdir yg sudah digariskan. Aku memahami hal ini namun rasa penasaran itu selalu ada, Kenapa aku buta?

Menurut informasi yang kuperoleh dari sanak saudara yang menyaksikan kelahiranku, sesungguhnya aku terlahir sempurna. Badanku sehat, segar dan bugar. Kulit putih bersih bersinar serta bola mata yang bening normal yang diduga dapat melihat sebagai mana mestinya. Mukaku ganteng seganteng papaku. Perawakanku pun gagah segagah papaku pula. Sering kali setiap aku bertemu ibu-ibuku dan saudara-saudaraku yang lain yang pernah bertemu dengan papa mereka selalu mengatakan bahwa hanya akulah yang paling mirip wajahnya dengan papa. Mereka beberapa kali mengatakan “terobati rasanya rasa rindu kita dengan papa setelah bertemu Basri!”
Lalu kenapa aku buta?

Ibu kandungku berpendapat bahwa ini akibat papaku yang suka kawin cerai. Papa selalu ingin beristri dua atau lebih dari satu, katanya.

Isrtinya yang pertama meninggal dunia. Istrinya yang kedua tetap setia hingga akhir hayatnya. Ketika dia beristri yang ketiga, tak punya anak dan tak lama cocok lalu bercerai. Ketika dia beristri yang ke empat juga tak lama sesuai dan juga tak punya anak juga diceraikan. Ketika beliau menikahi ibu, ibuku menjadi istrinya yang kelima dan berstatus istri kedua saat itu. Sementara istri papa yang kedua tetap berstatus istri pertama. Pasangan mereka bertiga lumayan awet bertahan. Dari istri pertama papa mempunyai delapan orang putra dan putrid dalam keadaan sehat wal’afiat. Dari ibuku diperolehnya seorang putri yang cantik namun umurnya hanya sekitar dua tahun saja yang karena sesuatu penyakit Tuhan telah mengambilnya kembali. Aku adalah anak ibu yang kedua sebagai putra pertama dan anak satu-satunya baginya hingga akhir hayatnya.
Memang aku terlahir setelah masuk zaman kemerdekaan Indonesia. Namun, ketika itu revolusi fisik melawan Belanda belum selesai.

Ketika Belanda melakukan agresi aksi polisionilnya yang kedua sekitar tahun 1948, papaku telah terlebih dahulu pulang ke kampungnya di Kabupaten Padang Pariaman, sementara kedua ibuku dan anak-anaknya yang masih tertinggal di Kaban Jahe Kabupaten Tanah Karo terpaksa mengungsi menyusul Papa ke kampung di Pariaman Sumatera Barat dengan berjalan kaki.

Ketika itu aku masih dalam gendongan yang belum dapat berjalan kaki sendiri. Tentu saja suasana dalam perjuangan tersebut tidak nyaman. Ibuku tentu saja mengalami kelelahan yang mengakibatkan kelemahan. Perbekalan mereka tentu saja tidak memadai.

Kondisi kesehatan orang dewasa saja jelas tidak kondusif kala itu. Apalagi kondisiku yang ketika itu masih bayi atau paling tidak, tergolong balita. Tentu saja kesehatanku sangat terganggu waktu itu. Dalam keadaan seperti itu tentu saja aku mengalami kelaparan, kehausan, bahkan mungkin kedinginan, kepanasan, yang pasti tidak mungkin ada kenyamanan. Dikarenakan aku masih sangat kecil ketika itu, belum lagi bisa berbicara jika menginginkan sesuatu, yang bisanya hanya menangis, maka di dalam perjalanan tersebut aku lebih banyak menangis tinimbang diam.

Setibanya rombongan ibu-ibuku bersama anak-anaknya di kampong Pariaman, terdengar isu bahwa papaku kawin lagi dengan istri yang keenam untuk dijadikan istri ketiganya. Sesungguhnya ibuku tidak rela papaku kawin lagi. Terlebih lagi ibuku sendiri. Dia sangat marah. Dengan kondisi ibuku seperti itu, ibu tiriku pertama tadi berhasil memprovokasi ibuku untuk mencari dan mendamprat papaku dengan istri mudanya tersebut. Ditambah lagi papaku tidak cukup member belanja untuk kehidupan mereka ketika itu. Bahkan, konon kabarnya kaum lelaki tidak boleh berusaha waktu itu. Terpaksa kaum wanita yang mencari makan. Termasuk ibuku terpaksa menjual telur untuk mencari makan. Akibatnya, aku sering ditinggalkan sendiri di rumah saudara yang sering kali dalam keadaan menangis. Keadaanku yang semacam itu berlangsung cukup lama. Akibatnya aku menderita sakit panas bahkan terserang penyakit cacar. Dengan kondisi kesulitan mendapatkan obat ketika itu, sempat ibuku membawaku ke rumah sakit Padang Pariaman ketika itu. Hasilnya, kondisi kesehatanku membaik, namun sialnya mataku buta.

Versi papaku aku menjadi buta dikarenakan kelalaian ibuku mengurus aku. Menurut papaku, tugas mengurus anak adalah tugas ibu.
“Ibumu lalai mengurus kamu” kata papaku.
“Dia tidak sabar mengopeni kamu. Dia pemarah dan gampang marah. Dia mudah naik darah. Dia sering meninggalkanmu di rumah. Akibatnya kamu cengeng, kamu gampang menangis. Tangisanmu sulit dihentikan. Terkadang papa pun jengkel terhadap tangisanmu yang seakan tiada henti. Sehingga pernah pada suatu kali papa terpaksa mencubitmu karena sudah digendong tetap saja tidak mau diam. Sementara ibumu terus saja meneror papa tanpa menghiraukan keadaanmu.
Bagi papa, soal kawin lagi adalah urusan papa. Lelaki berhak beristri hingga empat sepanjang dia mampu bertanggung jawab member nafkah lahir dan batin serta berlaku adil, paling tidak, secara lahir.
Bagi ibuyang punya anak, tugas pokoknya adalah mengurus anak. Anak ibumu Cuma satu hanya kamu seorang. Kenapa dia tidak becus mengurusmu. Padahal istri pertama  papa yaitu ibu tirimu punya anak banyak. Semua terurus dengan baik. Kenapa ibumu yang hanya punya anak satu tidak mampu mengurus kamu dengan betul hingga kamu menjadi buta seperti ini. “
Demikian kesimpulan pembelaan dari papaku.
Papaku tetap menikah dengan istri keenamnya yang baru untuk dijadikan istri ketiganya. Ibuku yang tidak sabaran dan tidak bisa menerima kenyataan itu, terpaksa diceraikan papaku. Maka meningkatlah status istri keenam papaku yang baru menjadi istri keduanya, yang namanya kebetulan sama dengan istri pertamanya. Yang berbeda dari mereka adalah kampungnya, yaitu yang tua dari Toboh dan yang muda dari Jati. Panggilan kami adalah Mak Toboh dan Mak Jati.
Entah karena kesamaan nama itu pasangan mereka bertiga dapat bertahan abadi hingga akhir hayat papa; sementara dari yang muda tersebut papa memperoleh tambahan putera dan puteri sebanyak Sembilan orang.
Jadi, total jumlah anak papaku semua ada delapan belas orang.
Hanya aku yang terpisah dari papaku karena aku anak ibuku satu-satunya dan mau tidak mau harus tingga bersama ibuku yang menjanda untuk beberapa lama sambil mengurusku yang tetap saja dalam keadaan buta, yang mungkin hingga akhir hayat tetap dalam keadaan gelap gulita.

Kini aku telah menjadi buta yang tak perlu disesalkan.
Menyesali buta tak kan mungkin diterangkan.
Menyesali derita tak kan mungkin dihapuskan.
Menyesali sengsara tak kan mungkin disenangkan.
Menyesali kecewa tak kan mungkin dipuaskan.
Menyesali susah tak kan mungkin dimudahkan.
Menyesali duka tak kan mungkin dibahagiakan.

Menyesali kalah tak kan mungkin dimenangkan.

Biarkan aku menerima kebutaan ini sebagai anugerah Tuhan.
Biarkan aku berjalan dalam kegelapan.
Aku yakin lampu Tuhan lebih terang dari segala lampu yang terang benderang.
Biarkan aku bekerja dalam kegelapan.
Aku yakin Tuhan punya cara membantuku untuk menyelesaikan.
Biarkan aku berkarya dalam kegelapan.
Aku yakin Tuhan punya cara untuk menginspirasikan.
Biarkan aku beramal bakti dalam kegelapan.
Aku yakin Tuhan punya cara menuntunku terus berjalan.
Biarkan aku berkreasi seni dalam kegelapan.
Aku yakin Tuhan punya cara menarik yang mengindahkan.
Biarkan kanvas itu bagiku kegelapan.
Aku yakin aku dapat melukiskan kehidupanku di atasnya dengan indah di bawah bimbingan Tuhan.

Melukis yang mudah adalah melukiskan kisah di atas dipan.
Melukis yang susah adalah melukiskan kehidupan dalam kegelapan.

Tak ada yang mudah diselesaikan jika tak mau mengerjakan.
Tak ada yang susah dilakukan jika dengan sungguh mau mengerjakan.

Buta mata dapat ditata
Buta hati tertatih sepi

Gelap mata bisa dicerah.
Gelap hati susah dicegah.

Melukis dalam terang jelas kelihatan.
Melukis dalam gelap perlu dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar